Beberapa metode pengukuran yang digunakan dalam menetapkan indikator kemiskinan adalah sebagai berikut :
a. Metode pengukuran jumlah kalori yang dikonsumsi per orang per hari
Metode ini digunakan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Standar kebutuhan minimum per orang per hari menurut BPS adalah
2100 kalori. Pemenuhan jumlah kalori tersebut sudah diperhitungkan dari
52 jenis komoditi yang dianggap mewakili pola konsumsi penduduk.
Pemenuhan kebutuhan lainnya (non makanan) diperhitungkan dari 45 jenis
komoditi non makanan dengan tidak membedakan antara wilayah perkotaan
dan pedesaan. Jumlah pengeluaran dalam rupiah untuk memenuhi kebutuhan
tersebut yang disesuaikan dengan harga pasar yang berlaku di
masing-masing wilayah kemudian ditetapkan sebagai garis kemiskinan
penduduk di suatu wilayah.
b. Metode pengukuran pendapatan yang disetarakan dengan nilai tukar beras per kapita per tahun
Metode ini dikemukakan oleh Sajogyo dan Sajogyo
(1980) untuk mengukur tingkat kemiskinan. Tingkat kemiskinan didasarkan
pada jumlah pendapatan per kapita per tahun yang disetarakan nilai tukar
beras, yaitu :
1) Kelompok paling miskin : bila pendapatannya kurang dari nilai tukar beras sebesar 240 kg/kapita/tahun.
2) Kelompok miskin sekali : bila pendapatannya hanya
setara dengan nilai tukar beras sebesar 240 kg sampai dengan 360 kg per
kapita/tahun.
3) Kelompok miskin : bila pendapatannya hanya setara
dengan nilai tukar beras sebesar 360 kg sampai dengan 480 kg per
kapita/tahun.
4) Kelompok cukup : bila pendapatannya setara dengan nilai tukar beras sebesar 480 kg sampai dengan 960 kg per kapita/tahun.
5) Kelompok kaya : bila pendapatannya sama atau lebih dari nilai tukar beras sebesar 960 kg per kapita/tahun.
c. Metode pengukuran berdasarkan kriteria kesejahteraan keluarga
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
tahun 2004 menggunakan kriteria kesejahteraan keluarga untuk mengukur
kemiskinan. Lima pengelompokkan tahapan keluarga sejahtera menurut BKKBN
adalah sebagai berikut :
1) Keluarga Pra Sejahtera
Keluarga-keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan pengajaran agama,
pangan, sandang, papan dan kesehatan.
2) Keluarga Sejahtera I
Keluarga sudah dapat memenuhi kebutuhan yang sangat
mendasar, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.
Indikator yang digunakan, yaitu :
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah menurut agama yang dianut.
b) Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
c) Seluruh anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian.
d) Bagian terluas dari lantai rumah bukan dari tanah.
e) Bila anak atau anggota keluarganya yang lain sakit dibawa ke sarana/ petugas kesehatan.
3) Keluarga Sejahtera II
Keluarga selain dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dapat pula memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, tetapi
belum dapat memenuhi kebutuhan pengembangannya. Indikator yang digunakan
terdiri dari lima indikator pada Keluarga Sejahtera I ditambah dengan
sembilan indikator sebagai berikut :
a) Anggota keluarga melaksanakan ibadah secara teratur menurut agama yang dianut masing-masing.
b) Sekurang-kurangnya sekali seminggu keluarga menyediakan daging atau ikan atau telur sebagai lauk pauk.
c) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru setahun terakhir.
d) Luas lantai rumah paling kurang 8,0 m2 untuk tiap penghuni rumah.
e) Seluruh anggota keluarga dalam tiga bulan terakhir
berada dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas/fungsi
masing-masing.
f) Paling kurang satu orang anggota keluarga yang berumur 15 tahun ke atas mempunyai penghasilan tetap.
g) Seluruh anggota keluarga yang berumur 10-60 tahun bisa membaca tulisan latin.
h) Seluruh anak berusia 6-15 tahun saat ini (waktu pendataan) bersekolah.
i) Bila anak hidup dua orang atau lebih pada keluarga
yang masih PUS, saat ini mereka memakai kontrasepsi (kecuali bila
sedang hamil).
4) Keluarga Sejahtera III
Keluarga telah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum
dan kebutuhan sosial psikologisnya serta sekaligus dapat memenuhi
kebutuhan pengembangannya, tetapi belum aktif dalam usaha kemasyarakatan
di lingkungan desa atau wilayahnya. Mereka harus memenuhi persyaratan
indikator pada Keluarga Sejahtera I dan II serta memenuhi syarat
indikator sebagai berikut :
a) Mempunyai upaya untuk meningkatkan pengetahuan agama.
b) Sebagian dari penghasilan keluarga dapat disisihkan untuk tabungan keluarga.
c) Biasanya makan bersama paling kurang sekali sehari
dan kesempatan ini dimanfaatkan untuk berkomunikasi antar-anggota
keluarga.
d) Ikut serta dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya.
e) Mengadakan rekreasi bersama di luar rumahpaling kurang sekali dalam enam bulan.
f) Memperoleh berita dengan membaca surat kabar, majalah, mendengarkan radio atau menonton televisi.
g) Anggota keluarga mampu mempergunakan sarana transportasi.
5) Keluarga Sejahtera III Plus
Keluarga selain telah dapat memenuhi kebutuhan dasar
minimumnya dan kebutuhan sosial psikologisnya, dapat pula memenuhi
kebutuhan pengembangannya, serta sekaligus secara teratur ikut
menyumbang dalam kegiatan sosial dan aktif pula mengikuti gerakan
semacam itu dalam masyarakat. Keluarga-keluarga tersebut memenuhi
syarat-syarat indikator pada Keluarga Sejahtera I sampai III dan
ditambah dua syarat berikut :
a) Keluarga atau anggota keluarga secara teratur memberikan sumbangan bagi kegiatan sosial masyarakat dalam bentuk materi.
b) Kepala keluarga atau anggota keluarga aktif sebagai pengurus perkumpulan, yayasan, atau institusi masyarakat lainnya.
Metode yang digunakan oleh BKKBN ini sudah sangat
sering diperdebatkan di berbagai kalangan karena selain rumit,
keluarga-keluarga yang didata belum tentu memberikan keterangan yang
sebenarnya dalam proses pendataan. Salah satu indikator yang mungkin
tidak dijawab secara obyektif oleh responden adalah indikator yang
berkaitan dengan agama karena masyarakat umumnya malu mengakui apabila
kurang aktif atau taat dalam melakukan ibadah. Kesulitan untuk
menerapkan indikator dari BKKBN dalam mengukur kemiskinan juga ditemui
di daerah pedesaan. Rumah di perdesaan yang letaknya jauh dari pusat
kota umumnya berlantai tanah oleh karena itu bentuk dan bahan bangunan
rumah tidak dapat dijadikan sebagai indikator kemiskinan tanpa
mempertimbangkan beberapa indikator lainnya. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa banyak penduduk desa yang memiliki lahan garapan dan
ternak yang bila dihitung dengan nilai rupiah bahkan melebihi kekayaan
yang dimiliki oleh orang-orang yang tidak miskin.
d. Metode pengukuran jumlah pendapatan
Bank Dunia menggunakan metode pengukuran jumlah
pendapatan minimal per hari per orang untuk menentukan garis kemiskinan.
Menurut Bank Dunia, pendapatan minimal per orang per hari adalah U$ 1
(setara dengan Rp. 9.000,-). Penetapan pengukuran pendapatan ini tidak
disertai dengan pengukuran pengeluaran per orang per hari dengan asumsi
bahwa selain kebutuhan makanan pokok, pengeluaran untuk jenis kebutuhan
lain (non makanan) tidak selalu dilakukan setiap hari. Apabila
disetarakan dengan pendapatan per bulan maka seseorang dikatakan miskin
apabila penghasilannya dalam sebulan kurang dari Rp. 600.000,-.
e. Metode pengukuran pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar
Indikator kemiskinan dengan menggunakan pengukuran
pemenuhan kebutuhan sesuai hak-hak dasar ini dikemukakan oleh BAPPENAS.
Masing-masing indikator tersebut adalah :
1) Terbatasnya kecukupan pangan, yaitu kurang dari 2.100 kkal/orang/hari.
2) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
kesehatan yang disebabkan oleh kesulitan mendapat layanan kesehatan
dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman
terhadap perilaku hidup sehat dan kurangnya layanan kesehatan
reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh serta biaya
perawatan dan pengobatan yang mahal.
3) Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas
pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan
memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan,
baik biaya langsung maupun biaya tidak langsung.
4) Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, perbedaan upah dan lemahnya
perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan.
5) Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
6) Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan
untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya
penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air.
7) Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan
tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur
penguasaan dan kepemilikan tanah serta ketidakpastian dalam penguasaan
dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat
dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi
anggota keluarganya untuk bekerja di atas tanah pertanian.
8) Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber
daya alam serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam.
Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir,
daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada
sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.
9) Lemahnya jaminan rasa aman.
10) Lemahnya partisipasi.
11) Besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh
besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong
terjadinya migrasi.
Seringkali kondisi kemiskinan yang dialami suatu
komunitas tidak memenuhi semua unsur indikator yang telah disebutkan.
Indikator-indikator yang terlihat jelas dan berlaku pada komunitas
secara umum adalah : 1) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan
pendidikan, 2) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, 3) terbatasnya
akses layanan perumahan dan sanitasi, 4) terbatasnya akses terhadap air
bersih, 5) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah, 6)
terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam dan 7) lemahnya
partisipasi. Perbedaan kemampuan anggota komunitas dalam memenuhi
kebutuhan dasar dan kepemilikan aset/lahan secara tidak langsung telah
membuat stratifikasi sosial dalam komunitas. Stratifikasi sosial ini
tidak ada kaitannya dengan faktor keturunan tetapi lebih disebabkan oleh
cara pandang dan pengukuran komunitas terhadap tingkat ekonomi
warganya.
D. Karakteristik
Menurut BPS (2008), karakteristik rumah tangga miskin
di Indonesia dikelompokkan dalam bidang sosial demografi, pendidikan,
ketenagakerjaan dan perumahan. Uraian ringkas masing-masing
karakteristik tersebut adalah sebagai berikut :
a. Karakteristik Sosial Demografi
Karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin meliputi :
1) Rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4,70 (perkotaan) dan 4,64 orang (perdesaan),
2) Prosentase perempuan sebagai kepala rumah tangga mencapai 14,18% (perkotaan) dan 12,30% (perdesaan),
3) Rata-rata usia kepala rumah tangga 48,57 tahun (perkotaan) dan 47,86 tahun (perdesaan),
4) Tingkat pendidikan kepala rumah tangga yang diukur
dengan indikator rata-rata lama sekolah yang dijalani kepala rumah
tangga, yaitu 5,19 tahun (perkotaan) dan 4,06 tahun (perdesaan) atau
setara dengan tamat SD dan SMP.
b. Karakteristik Pendidikan
Karakteristik pendidikan meliputi :
1) Prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf sebesar 14,30% (perkotaan) dan 19,57% (perdesaan),
2) Tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga
yang Tidak Tamat SD dan Tamat SD, di perkotaan sebesar 37,13% dan 35,55%
sedangkan di perdesaan sebesar 45,36% dan 41,15%.
c. Karakteristik Ketenagakerjaan
Karakteristik ketenagakerjaan meliputi :
1) Rata-rata prosentase pengeluaran rumah tangga
per-kapita/bulan atau sumber penghasilan utama rumah tangga di perkotaan
sebesar 14,71% yang tidak bekerja dan 30,02% yang bekerja di sektor
pertanian sedangkan di perdesaan sebesar 8,67% yang tidak bekerja dan
68,99% yang bekerja di sektor pertanian.
2) Status pekerjaan kepala rumah tangga, antara lain :
tidak bekerja dan berusaha sendiri (atau berusaha sendiri dibantu buruh
tidak tetap), masing-masing sebesar 14,71% dan 40,86% untuk perkotaan
sedangkan perdesaan sebesar 8,67% dan 60,63%.
d. Karakteristik Tempat Tinggal (Perumahan)
Karakteristik tempat tinggal meliputi :
1) Luas lantai < 8 M² sebanyak 31,01% (perkotaan) dan 29,61% (perdesaan),
2) Lantai tanah sebesar 18,68% (perkotaan) dan 31,21% (perdesaan),
3) Jenis atap rumah yang terbuat dari ijuk/rumbia sebesar 0,41% (perkotaan) dan 4,57% (perdesaan),
4) Jenis dinding yang terbuat dari kayu dan bambu,
masing-masing sebesar 16,15% dan 17,88% untuk perkotaan sedangkan
perdesaan sebesar 30,57% dan 29,33%,
5) Jenis penerangan, yaitu petromax/aladin dan
pelita/sentir/obor, masing-masing sebesar 0,56% dan 3,07% untuk
perkotaan sedangkan perdesaan sebesar 1,37% dan 19,71%,
6) Sumber air bersih yang meliputi mata air, sumur
tak terlindung, air sungai, air hujan dll sebesar 49,70% (perkotaan) dan
63,99% (perdesaan),
7) Jenis jamban (jamban umum atau tidak ada) sebesar 34,95% (perkotaan) dan 51,66% (perdesaan),
8) Status pemilikan rumah tinggal yang bukan milik
sendiri (sewa/kontrak, menumpang, dll) sebesar 14,93% (perkotaan) dan
7,27% (perdesaan).
Sama halnya dengan indikator, pada kenyataan di
lapangan dapat diketahui bahwa tidak semua komunitas miskin menyandang
semua karakteristik kemiskinan versi BPS atau karakteristik versi
lainnya. Karakteristik yang umum ditemui dalam komunitas miskin adalah :
1) jumlah anggota rumah tangga, 2) prosentase perempuan sebagai kepala
rumah tangga, 3) prosentase kepala rumah tangga yang buta huruf, 4)
jenis lantai tanah, 5) jenis penerangan dan 6) status kepemilikan tempat
tinggal/rumah.